Puluhan bahkan ratusan, ribuan lembaga pendidikan telah berdiri di Indonesia baik yang berkurikulum formal struktural (MI, SD, MTs, SMP, MA, SMU, PT) maupun yang berkurikulum semi-formal institusional (pondok pesantren, lembaga kursus, privat dan lain sebagainya). Idealnya (seharusnya), berbagai lembaga pendidikan tersebut mampu menghasilkan lulusan yang seluruh aktivitas berpikir, bertindak dan berkreasi bisa meningkatkan kesejahtreraan masyarakat. Kesejahteraan dalam arti terciptanya perdamaian, tegaknya supremasi hukum, supremasi moral dan meningkatnya kualitas peradaban.
Namun kenyataan didalam kehidupan tidaklah seperti yang diharapkan. Maraknya kenakalan remaja, munculnya kerusuhan sosial dan berbagai keangkara-murkaan lain adalah fakta riil dalam kehidupan yang keberadaannya tidak bisa dikesampingkan. Kenyataan seperti ini memunculkan tanda tanya besar, kenapa ratusan ribu lembaga pendidikan tersebut tidak juga mampu mewujudkan segala harapan masyarakat, pada hal pada lembaga pendidikanlah masyarakat menggantungkan impian masa depan anak-anaknya.
Secara statistik-matematis, waktu yang tersedia dalam pembelajaran diberbagai lembaga pendidikan sangatlah terbatas. Keterbatasan waktu berdampak pada keterbatasan materi dan improvisasi. Keterbatasan waktu juga berdampak pada tidak optimalnya pemahaman dan pendalaman materi yang akhirnya bisa menjerumuskan sampai pada tahap paling tragis yaitu tidak optimalnya kesadaran. Sedangkan minimnya kesadaran, baik kesadaran moral, kesadaran hukum maupun kesadaran sosial merupakan sumber dari segala ketidak-teraturan moral, hukum dan sosial itu sendiri.
Selain berbagai lembaga pendidikan yang berkurikulum diatas, penting pula dicermati lembaga pendidikan yang tidak berkurikulum yaitu kehidupan sosial kemasyarakatan. Lembaga ini tidak ber-kurikulum bukan karena tidak memiliki bahan pengajaran, melainkan terlalu banyak dan sangat beragam materinya. Dengan banyak dan beragamnya materi ajar sosial ditengah kehidupan masyarakat, sehingga tidak sebanding dengan materi ajar di lembaga pendidikan yang berkurikulum. Kekuatan pengaruh bahan ajar di masyarakat juga tidak sebanding dengan pengaruh bahan ajar di sekolah. Konkritnya, seorang peserta didik yang memperoleh materi ajar di sekolah dengan segala keterbatasannya, dia akan mendapat tambahan materi ajar di masyarakat dan materi ajar dimasyarakat tidak selalu selaras dan sehaluan dengan materi ajar di sekolah.
Relevansi (kaitan) dan konsekuensi logis (akibat yang harus diterima), maka adakalanya seorang peseta didik akan semakin terdidik dengan berbaur di tengah masyarakat dan ada kalanya peserta didik semakin jauh dari apa yang diharapkan oleh masyarakat dan bahkan semakin kurang ajar. Kekurangajaran yang terus-menerus berpeluang besar akan mendominasi skema nalar (pola pikir) dan mental peserta didik. Akibatnya juga, apa yang pernah diperoleh di sekolah sama sekali tidak membekas dalam dirinya. Sebaliknya, materi ajar dari masyarakat yang tidak positif justru akan lebih dominan dalam dirinya. Hal ini terjadi antara lain, karena ketersediaan waktu yang cukup lapang dan panjang di masyarakat. Sehingga, apa yang didapatnya dari masyarakat akan banyak mewarnai pola pikir dan tindakannya.
Dalam situasi demikian, keharusan yang sesegera mungkin dilakukan adalah terjaminnya suatu tata masyarakat yang selalu menjaga supremasi moral, hukum dan sosial. Untuk mewujudkan hal tersebut, salah satu komponen (unsur) yang paling strategis (efektif) adalah etika, moralitas dan mentalitas anggota masyarakat itu sendiri. Moral, etika dan mental tidaklah eksis dengan serta merta tetapi melalui proses yang panjang dan membutuhkan kesabaran. Etika adalah ukuran (standar) yang dipegangi oleh seorang individu atau masyarakat berkaitan dengan baik buruk, atau benar salah yang berlakunya melalui kesepakatan bersama. Adanya kesepakatan dalam memberlakukan suatu etika (norma) menggambarkan bahwa, moralitas selalu beriringan dengan keterbukaan, kebebasan dan kebersamaan. Semua ini adalah prinsip-prinsip dasar dalam kehidupan berdemokrasi. Demokrasi ternyata tidak hanya terkait dengan kehidupan politik, tetapi juga berkaitan erat dengan kehidupan moral, hukum, sosial dan pendidikan.
Pendidikan sosial yang demokratis adalah pendidikan yang berlangsung ditengah pergulatan kehidupan masyarakat yang kurikulumnya tidak terencana, tidak teratur, tidak terstruktur. tidak mempunyai alur tetapi secara riil mampu memproduk (menciptakan/membuat) anggota masyarakat menjadi lebih damai, egaliter (sama) dan makmur. Pendidikan sosial yang mengabaikan aspek-aspek kesepakatan jelas-jelas bukanlah pendidikan demokratis, melainkan pendidikan sosial yang otoriter (semaunya). Anggota masyarakat, seperti remaja yang otoriter (berbuat semuanya) tidak saja akan menimbulkan anarkhi (kekerasan fisik) dalam bentuk pemaksaan keinginan untuk diterima dalam masyarakat, tetapi juga bisa memaksa diri untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nuraninya (anarkhis individu-internal). Apapun jenis dan bentuknya kedua kedua anarkhis tersebut sama-sama tidak relevan (sesuai) dengan pendidikan sosial yang demokratis.
Pentingnya pendidikan sosial yang demokratis bukan saja dalam rangka mewujudkan tata masyarakat yang demokratis dalam segala hal, tetapi juga dalam rangka membangun dan menjamin terpeliharanya kesadaran secara terus-menerus baik kesadaran moral, hukum maupun sosial. Kesadaran adalah lebih penting dari sekedar pemahaman. Pemahaman yang optimal dapat mendorong dan memperkuat kesadaran. Pemahaman yang optimal tanpa diiringi dengan kesadaran akan sia-sia, kesadaran tanpa pemahaman akan melahirkan kesadaran semu dam temporal. Kesadaran yang disertai dengan pemahaman akan mewujudkan perilaku yang konsisten (berpegang teguh) dan berkesinambungan, konsistensi (keteguhan) adalah kunci moral, nalar dan mental masyarakat. Moral adalah kunci kualitas masyarakat, kualitas adalah kunci keberlangsungan masyarakat yang endingnya (ujungnya) akan melahirkan masyarakat yang berperadaban yang sadar akan eksistensi (keberadaan) dan esensinya (hakekatnya) sebagai manusia. Esensi manusia adalah akalnya. Dengan demikian keteraturan masyarakat merupakan simbol dari keteraturan akal. Masyarakat yang sakit akan menggambarkan akal yang sakit dan masyarakat yang sehat menggambarkan kesehatan akal. Sehat atau sakitnya akal sangat ditentukan oleh masyarakat. Masyarakat merupakan produsen manusia berakal sehat maupun berakal tidak sehat. Dengan demikian, masyarakat merupakan lembaga pendidikan tertinggi diantara pendidikan tinggi dan paling berpengaruh diantara pendidikan yang ada.
Pernahkah terbayang dalam benak kita, bahwa ditengah kehidupanlah tempat pembinaan moral dan mental generasi kita. namun mengapa ketika terjadi hura-hura dan berbagai kemerosotan moral lainnya kita seakan lepas tangan dan menganggap bahwa itu bukan tanggung jawab kita, ataukah kita sengaja membiarkan semua itu karena ada sekolah yang akan mendidiknya ?. mungkin kita terlalu jauh melangkah kalau banyak berharap dari sekolah. Sekolah hanya bisa melahirkan orang pintar tetapi belum tentu mampu menciptakan generasi yang sadar eksistensi (keberadaan) dan esensinya ( hake-katnya) sebagai manusia. Dan semua akan kembali kepada kita semua apakah kita mau menciptakan generasi yang beradab ataukah generasi yang suka berhura-hura. Allahua'lam.
0 komentar:
Posting Komentar