Kamis, 26 April 2012

Desa Matua Melakukan Pemilihan KPM Desa


Dalam rangka mendukung Program Pendataan dan Pemetaan Potensi Sosial Ekonomi Desa yaitu Program Pemerintah Daerah Dompu dalam hal ini leading sectornya adalah  Bappeda Dan Litbang KAb. Dompu dengan bermitra dengan beberapa LSM LOkal di Dompu sebagaimana  yang sudah disosialisasikan sebelumnya oleh Bappeda Dompu, bahwa untuk melakukan kegiatan ini tentunya membutuhkan dukungan dan partitipasi dari warga masyarakat setempat. Oleh karena itu guna mensukseskan dan mendukung kelancaran program ini sebagaimana diuraikan pada acara sosialisasi program sebelumnya bahwa setiap Desa/ Kelurahan wajib memiliki KPM sebagai Kader Desa yang akan membantu Pemerintah Desa untuk melakukan pendataan dan update informasi di Desa.
Dalam mewujudkan pemberdayaan masyarakat dan pengelolaan pembangunan yang berkelanjutan di desa dan kelurahan maka dibutuhkan sifat partisipatif yang didukung oleh faktor penggerak dari dalam masyarakat itu sendiri (inner will). Untuk menggerakkan prakarsa, partisipasi dan swadaya gotong-royong masyarakat maka dibutuhkan Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) sebagai mitra mandiri sekaligus fasilitator Pemerintahan Desa dan Kelurahan serta segenap organisasi kemasyarakatan. Keberadaan KPM diharapkan akan mampu mengoptimalkan kegiatan pengkajian potensi masalah dan pendataan, perencanaan, pelaksanaan, pertanggungjawaban dan pelestarian sekaligus pengendalian pembangunan. Keberadaan KPM juga dimaksudkan sebagai upaya kaderisasi pemimpin dan pioneer pemberdayaan potensi lokal melalui penumbuhkembangan kewirausahaan terutama di kalangan generasi muda agar mereka mampu bekerja dan mengabdi di desa dan kelurahannya dalam rangka mengatasi pengangguran dan tingkat urbanisasi yang tinggi karena terbatasnya lapangan kerja yang tidak sebanding dengan jumlah angkatan kerja baik di desa maupun kelurahan.
Maka pada hari Kamis Tanggal 26 April 2012 Desa Matua Kec.Woja melakukan pertemuan untuk memilih Kader Pemberdayaan Masyarakat. Kegiatan ini difasilitasi oleh Tenaga Ahli Tingkat Kabupaten dan juga dibantu oleh Fasilitator Desa MAtua dalam hal ini saudara Sahril. Dalam penjelasannya diuraikan bahwa syarat-syarat untuk menjadi KPM adalah harus  warga Desa Matua itu sendiri, mau berbuat dan membantu untuk membangun Desa secara sukarela dan yang paling penting bahwa yang akan menjadi KPM nantinya 4 orang adalah harus ada unsur perempuan minimal 2 perempuan dan 2 laki-laki, lebih bagus lagi 3 perempuan atau semuanya perempuan.
Setelah proses penjelasan awal dilakukan maka musyawarah untuk mendapatkan atau menentukan 4 orang KPM tersebut berlangsung alot dank arena hanya ada 1 perempuan yang memenuhi syarat maka disepakatilah bahwa 1 perempuan tersebut yaitu atas anam Astuti Mariani ditetapkan sebagi KPM, akan tetapi kesepakatan pun belum final karena masih membutuhkan 3 orang lagi dan disepakati 2 laki dan 2 perempuan, oleh karena itu maka alternative terakhir yang dilakukan adalah Voting untuk menentukan 2 orang laki-laki tersebut, dari 4 calon KPM laki-laki yang ikut mencalonkan diri maka yang terpilih adalah saudara Eko Permadi dan Budi Rahman, SE. Sedangkan 1 orang lagi perempuannya adalah disepakati dari Dusun Buncu Selatan saudari Neneng Khaerunisa, S.Si, walaupun tidak hadir pada musyawarah ini tetapi masayrakat sepakat karena berdasarkan beberapa pertimbangan antara lain sesuai dengan syarat KPM adalah mampu mengoperasikan computer juga memenuhi keterwakilan masing-masing Dusun di Desa Matua.EN 

Senin, 23 April 2012

Perbedaan dan Aksi kekerasan


Perbedaan atau keragaman adalah sebuah keniscayaan yang harus diterima sebagai hukum alam atau dalam bahasa agama sering disebut sunnatullah. Perbedaan atau keragaman akan selalu menghiasi setiap derap langkah kehidupan kita. Sebagai konsekuensi (akibat yang harus diterima) dari adanya keragaman adalah adanya peluang terjadinya pertentangan atau konflik yang senantiasa dapat terjadi setiap saat dan hanya waktulah yang akan menentukannya. Pertentangan atau konflik apapun bentuknya hanya akan mendatangkan kesengsaraan, terutama orang-orang yang terlibat dalam lingkaran tersebut. Akibat dari konflik yang ada, ketakutan dan perasaan was-was akan tetap menjadi bayangan yang menakutkan. Sudah berapa juta nyawa yang melayang sia-sia, berapa banyak harta benda yang hancur, dan pernahkah terbayang dalam benak kita masing-masing betapa sedih, pilu dan sakitnya perasaan ketika orang yang kita cintai pergi meninggalkan kita, harta benda yang kita sayangi hancur, hanya karena pertikaian yang sebenarnya tidak jelas ujung pangkalnya. Orang-orang besar sering menjadikan kita sebagai obyek kepentingan mereka, sehingga tanpa sadar kita sering masuk dalam perangkap mereka. Dengan mengangkat permasalahan agama, suku, ras atau yang lainnya, kita selalu merasa dipihak yang paling benar dan berhak menghakimi siapa saja yang tidak sependapat dengan kita, padahal kita sendiri tidak mengerti kebenaran mana yang kita bela.
Maka ketika muncul problem sosial dalam bentuk konflik yang melibatkan sistem dan symbol simbol agama, ras, suku atau yang lainnya maka yang segera muncul adalah semangat yang meluap - luap dengan eksperesi yang sulit diben-dung, orang sudah kehilang-an akal jernihnya, dalam benak mereka hanya ada kata pembalasan dan peng-hancuran. Dalam kondisi demikian, duduk permasa-lahan yang sesung-guhnya dan alternafif-alternafif pemecahannya menjadi benang kusut yang kian sulit untuk diurai dan memerlukan perhatian dan energi yang besar untuk memecahkannya, karena antara isu-isu tersebut sangat terkait dengan masalah-masalah sosial.
Beberapa peradigma (cara pandang) ilmu sosial menyatakan bahwa konflik atau pertentangan adalah sesuatu yang sudah menjadi sifat dasar dari individu yang lalu kemudian diinternalisasikan (dimasukkan) dalam kepentingan sebuah komunitas sehingga konflik akan menjadi komoditas (obyek) politik kepentingan kesejahteraan manusia atau menjadi komoditas kepentigan "perut" para kaum Opportunist (orang-orang yang pintar memanfaatkan kesempatan), sekecil apapun konflik yang terjadi tanpa ada i'tikad baik untuk menyelesaikannya dari semua elemen atau unsur yang terlibat maka konflik kecil bisa menjadi konflik laten yang sewaktu-waktu bisa meledak dan meng-hancurkan tatanan kehi-dupan yang sudah ada. Penyelesaian konflik jawabannya terletak pada kemauan bersama untuk  mengkonkritkan atau memperjelas konflik tersebut menjadi "anarkhis" atau "musyawarah" diantara dua pilihan tersebut yang cenderung muncul dipermukaan adalah trend (idola/kesenangan pada suatu masa) "kekerasan" yang dijadikan alat untuk kepentigan golongan dan individu oleh kelompok-kelompok yang mengatas-namakan agama, ras, dan suku. Kecenderugan masyarakat terhadap kekerasan yang di bungkus dengan baju yang mengatasnamakan solidaritas telah melupakan nilai-nila kemanusiaan yang tertuang dalam tradisi-tradisi keagamaan yang mengajarkan tentang bagaimana menghargai perbedaan yang ada.
Nusa Tenggara Barat termasuk daerah yang rawan dengan konflik, hal ini terbukti dengan beberapa kejadian yang secara bertubi-tubi melanda Nusa Tenggara Barat seperti peristiwa pengrusakan tempat-tempat ibadah yang mengatasnamakan solidaritas agama. Sejarah kelabu yang terjadi diawal tahun baru tersebut merupakan catatan buram dalam sejarah kehidupan beragama kita, belum lagi dengan penghakiman massal yang dilakukan oleh oknum pamswakarsa terhadap jama'ah Ahmadiyah dan konflik-konflik lain yang telah banyak merenggut nyawa dan harta benda.
Upaya kearah rekonsiliasi dan persaudaraan sejati yang dilakukan selama ini masih terbatas pada ruang komunikasi antara penguasa dan masyarakat, sehingga masih meninggalkan luka yang begitu mendalam. Bahkan sampai hari ini masih terdengar riak-riak kearah konflik, karena masing-masing kita masih tertutup oleh ego dan kesombongan yang melingkari hati kita. Kita masih saja memandang sesama sebagai makhluk yang harus disingkirkan, apakah hanya karena perbedaan kepentingan dan secara kebetulan tidak sepaham dengan kita lalu berhak menghakimi siapa saja, padahal kalau kita semua mau berkaca pada ajaran agama, tidak ada satu ayatpun yang memerintahkan kita untuk saling membunuh apalagi terhadap saudara seagama. Tetapi mengapa kita selalu cenderung menuruti keinginan hawa nafsu yang merupakan bisikan syaitan.
Berangkat dari fenomena sosial kehidupan yang sangat mengkhawatirkan dan mengancam kestabilan dan merusak nilai-nilai kemanusiaan, sebaiknya kita mau merenungi kembali ajaran agama dan nilai budaya agar kita bisa sedikit menahan diri dalam setiap langkah yang akan kita ambil.  Sikap saling terbuka antara sesama tanpa memandang dari agama, suku, atau ras apapun dia berasal, maka akan membuka ruang dialog yang akan menyadarkan kita semua, bahwa kita adalah manusia yang diciptakan dari bahan yang sama, mempunyai hak dan martabat yang sama dan sangat tidak adil apabila antara yang satu dengan yang lain saling mencurigai. Dengan terbukanya ruang untuk berkomunikasi dan saling mengenal masalah yang dihadapi oleh orang lain maka kita bisa saling membantu mencari jalan keluar untuk masalah yang dihadapi.
Perbedaan yang ada jangan kita pandang sebagai pembatas kita berkomunikasi, namun harus kita lihat sebagai alat perekat untuk membina persaudaraan sejati. Konflik kekerasan apapun alasannya hanya akan mendatangkan penderitaan dan kesengsaraan, kita masyarakat kecil yang dianggap tidak tahu apa-apa sering dijadikan sebagai komoditas atau obyek kepentingan mereka. Kalau kita sadar hal ini, konflik yang telah memakan banyak korban tidak akan pernah terulang kembali, biarlah konflik kekerasan yang terjadi baik yang mengatasnamakan agama, suku dan ras menjadi kenangan pahit yang harus kita kubur dalam-dalam. Saat ini, kita harus membatasi ruang gerak para kaum oportunis yang hanya mementingkan kepentingan perut sesaat, kita sudah bosan dijadikan sebagai korban kepentingan. Sikap selalu mawas diri mungkin hal terbaik yang tetap harus kita lakukan disaat situasi seperti ini.

Jumat, 20 April 2012

“LUPUS” PEnyakit Langka mulai dikenal Masyarakat


Hari Kamis Tanggal 19 April 2012 bertempat di Aula Gedung Pemuda KAbupaten Dompu beberapa pelajar, dan kaum perempuan di sekitar Kota Dompu beramai-ramai datang ke Gedung Pemuda dalam rangka mendengarkan sosialisasi Penyakit LAngka yaitu Penyakit LUPUS.
Kegiatan ini diadakan oleh Perempuan Pendaki Peduli Lupus Indonesia (P3L). dalam acara ini Ketua Yayasan Penyakit Lupus Indonesia mengungkapkan bahwa tujuan dari di adakannya sosialisasi ini adalah dalam rangka memperkenalkan apa itu penyakit LUPUS kepada seluruh masyarakat Indonesia. Karena banyak orang di Indonesia tidak mengetahui penyakit ini sehingga mereka beranggapan bahwa penyakit ini langka dan jumlah penderitanya sedikit. Padahal kenyataannya pasien penyakit ini cukup banyak dan semakin meningkat. Seperti di Kab. Dompu jumlah penderita lupus sudah 6 orang dan itu angka yang cukup tinggi.

Penyakit ini sesungguhnya dapat menyerang siapa saja dan jika tidak diketahui secara dini maka penyakit ini sama bahayanya dengan penyakit seperti kanker, dll. Maka dalam rangka sosialisasi ini Tiara mengungkapkan bahwa masyarakat bisa mengenali gejala penyakit ini antara lain : sakit pada sendi, demam berkepanjangan, rambut rontok, anemia, stroke, kejang san sariawan. Maka kalau ada gejala-gejala seperti itu dihimbau agar segera memeriksakan diri ke Dokter atau Rumah Sakit setempat.

Selasa, 17 April 2012

Jembatan Rasanggaro Rusak Lagi

Untuk kesekian kalinya dalam 2 tahun terakhir ini Jembatan Rasanggaro di Kelurahan Montabaru kini harus rusak lagi. Jembatan yang merupakan penghubung antara Kelurahan Montabaru dan Desa Matua merupakan jalur penghubung utama di Kabupaten Dompu. Dan merupakan jalur transportasi utama yang di Kabupaten Dompu yang menuju dan dari arah kabupaten Sumbawa, dll.  Akibat dari rusaknya jembatan ini akses bagi pengguna kendaraan beroda empat sangat kesulitan karena mereka harus berputar jalurnya melewati jalur alternative yang lebih jauh bila dibandingkan dengan jalur tersebut.
Sedangkan untuk sepeda motor masih bias lewat. Dan sekarang Jembatan ini kini sudah dipagari bambu untuk member tanda kepada pengguna jalan sampai pada upaya-upaya Pemerintah Kabupaten Dompu untuk segera memperbaiki Jembatan tersebut. EN

Melihat Indonesia dengan Taman

Duduklah disebuah Taman, suatu tempat yang sengaja dibuat oleh tangan kreatif untuk satu kehidupan buatan baru. Di sana ada bunga yang berwarna-warni, disana ada bunga dengan  bermacam-macam ukuran, disana ada bunga yang masih segar  dan bunga yang sudah layu, dan disana juga ada bermacam-macam bunga dengan keharuman yang berbeda.  
Apakah yang akan anda rasakan…? Jika jiwa anda merasakan damai, maka anda sudah dapat mendengarkan apa yang telah dikatakan oleh bunga yang bermacam-macam ukuran itu. Bunga itu menyadari  kalau dia (bunga) ada karena adanya (Bunga) yang lain, sehingga  apabila ia mengganggu bunga yang lain berarti ia menghianati keberadaan dirinya sendiri.
Jika hati anda merasakan tenang, maka anda  sudah bisa merasakan  apa yang dirasakan oleh  bunga-bunga yang tumbuh dengan warna berbeda itu. Bunga satu tidak merasa terancam ketika ada bunga lain tumbuh subur disekitarnya, Bunga satu tidak pernah dikhawatirkan oleh mekarnya bunga lain, justru yang mekar menjadi pelindung bagi yang lainya.
Jika seluruh tubuh anda merasa sejuk, maka anda sudah menikmati hakikat dari keberadaan taman dan bunga-bunga yang berada didalamnya. Taman ada bukan sebagai perusak lingkungan, tetapi ada untuk menata lingkungan yang tidak teratur dan bunga-bunga itu adalah anugerah alam yang dihadirkan untuk memberi, keindahan, kedamaian, dan ketenangan. 
Begitulah kira-kira keadaan yang bisa kita nikmati disepotong lingkungan yang diatur dengan rapi kemudian orang-orang kita menamainya dengan taman. Tetapi sadarkah kita kalau disepotong lingkungan tersebut ada banyak pelajaran yang dapat kita ambil dalam kehidupan kita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Orang bijak selalu berkata "Belajarlah dari hal-hal kecil untuk menyikapi sesuatu yang besar, atau dengan perkataan lain pada sesuatu yang kecil terdapat sesuatu yang besar".
Indonesia menurut fakta sejarah adalah negara yang lahir dari hasil kesepakatan banyak suku bangsa yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama yaitu kedamaian, kemakmuran, keadilan, dan kebebasan. Di dalam suku-suku bangsa ini terdapat beragam agama, bahasa, budaya, tradisi, dan kebiasaan yang berbeda-beda. sehingga Bung Karno mengatakan kalau negara Indonesia ada bukan karena persamaan adat budaya, agama, etnis, dan suku melainkan karena perbedaan itu menjadi " lem" perekat bangsa yang Berbhineka Tunggal Ika  (Biar berbeda tetapi tetap satu).
Kalau kita lihat, Indonesia persis seperti taman yang digambarkan diatas. Indonesia mempunyai batas wilayah dan keunikan-keunikan yang berada di dalamnya. Di negara kita ada + 14.000 pulau terbagi dalam pulau kecil ada pulau besar. Di negara kita ada banyak agama yang dianut oleh rakyat Indonesia terbagi menjadi mayoritas dan minoritas, dinegara kita ada jutaan bahasa yang disatukan oleh bahasa persatuan (bahasa Indonesia). Anugerah alam yang sungguh luar biasa.
Tetapi sayang Indonesia, sejak ia lahir sampai hari ini selalu dipenuhi oleh cerita-cerita duka karena per-bedaanya. Untuk menghindari terus berlanjutnya cerita duka dinegara-bangsa ini, mari kita pelajari kedamaian dan ketentraman yang diajarkan oleh taman dan bunga-bunganya. Kita boleh berbeda agama tetapi pernahkah ajaran agama kita masing-masing mengajarkan yang tidak benar. Kita boleh berbeda suku dan etnis karena itu akan memberi keterangan bahwa Indonesia adalah negara yang besar.  Kita boleh menjadi bagian yang paling besar dari negara ini tapi bagian negara yang kecil tidak harus disingkirkan. Kita boleh saja berbeda ras dan warna kulit tapi kita semua pada dasarnya adalah berasal dari unsur yang sama, dan tidak ada larangan untuk menjadi apa saja yang baik di negara ini yang dilarang adalah menjadi penghancur negara ini.
Kehidupan bernegara adalah kehidupan yang digem-birakan oleh harapan dan kehidupan yang tidak menyukai keputusasaan. Jadi bagaimanapun Indonesia hari ini kita jangan sampai putus asa untuk mencari pemecahan terbaik.  Harapan kita pun adalah sesuatu yang paling baik untuk Indonesia.W

Kartini Dan Perempuan Kekinian

Tanggal 21 April 1823, di Jepara lahir seorang pejuang hak-hak perempuan yang akrab dikalangan sekolah (pendidikan) maupun masyarakat umum beliau adalah Raden Ajeng Kartini. Beliau adalah sosok wanita mengagumkan yang mampu mengangkat keharuman nama wanita yang waktu itu terkungkung oleh penjajah dan budaya saat itu. Wanita tidak boleh bersekolah dan wanita tidak boleh ikut perkumpulan seperti laki-laki. Maka, karena merasa hak-haknya sebagai wanita dan manusia untuk mendapatkan pendidikan dan pelayanan yang sama, ia pun tidak terima dan berontak. Pada waktu itu yang berhak  bersekolah hanyalah anak-anak pejabat dan orang kaya. RA. Kartini lalu sempat mnegenyam pendidikan karena ia putri seorang residen. Tetapi budaya yang berkembang waktu itu, tidak membolehkan seorang wanita yang memasuki usia remaja untuk melanjutkan studinya. Wanita yang memasuki usia remaja harus dipingit (tidak boleh keluar rumah), dengan kebiasaan seperti itu batinnya melakukan pemberontakan untuk memperjuangkan hak-hak kaumnya.
Kegigihan RA. Kartini dalam memperjuangkan hak-hak perempuan merupakan tonggak awal bagi terciptanya egalitarian dan persamaan antara laki-laki dan perempuan. Dalam perjalanannya kemudian, fakta sosial menunjukkan perempuan selalu ditempatkan pada posisi subordinat (bawah) dan termarginalkan (terpinggirkan) baik hak-haknya dalam berpolitik, ekonomi, sosial dan dalam bidang kehidupan lainnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang menjadikan posisi perempuan  sangat menyedihkan.
Pertama Agama, ajaran agama yang selama ini diinterpretasikan (ditafsirkan) oleh para ulama, khususnya ayat-ayat yang menyangkut hak antara laki-laki dan perempuan kurang berpihak kepada kaum perempuan. Sejarah memang belum mencatat ada ulama besar dari kaum perempuan, sehingga penafsiran yang timbulpun selalu menyudutkan dan merugikan perempuan contohnya ayat yang menyatakan "Laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan" (QS. An-nisa : 34) sering dijadikan sebagai senjata laki-laki untuk melanggengkan hubungan yang tidak egaliter yang konsekwensinya akan menempatkan laki-laki selalu diatas segalanya dan perempuan selalu menjadi obyek penindasan. Ini berakibat pada munculnya anggapan bahwa, Islam adalah agama yang membelenggu kebebasan perempuan dan tentu saja suami akan merasa terlegitimasi (dibolehkan) untuk melakukan pencekalan bagi langkah perempuan.
Kedua budaya, budaya yang hidup dan berkembang ditengah masyarakat kita secara umum adalah budaya yang masih mengakar pada tradisi-tradisi masa lalu. Sejarah telah mencatat bahwa pada zaman kerajaan atau  penjajahan dahulu perempuan sering dijadikan sebagai hadiah bagi para tamu kerajaan ataupun bagi para pejabat Imperalialis (penjajah) untuk alat kesenangan belaka. Dan perempuan tidak dibenarkan untuk ikut dalam urusan politik, ekonomi, budaya  dan lainnya sehingga nyaris aktivitas perempuan khususnya yang jauh dari kota dan informasi hanya berkutat pada dapur, sumur dan kasur.
 Ketiga stigma, stigma (pelabelan) yang berkembang dimasyarakat yaitu, perempuan adalah obyek seks atau alat pemuas nafsu kaum laki-laki saja dan tak mengherankan apabila kita sering mendengar bahkan melihat diberbagai media massa perempuan korban pemerkosaan. Keempat hukum, hukum yang ber-laku dinegara kitapun masih cenderung men-diskriminasi-kan perempuan, contoh ringan saja, ketika aparat penertiban melakukan razia terhadap para perempuan malam. Perempuanlah yang akan ditangkap, kemudian di interogasi seperti pelaku kriminal kemudian direhabilitasi pada panti sosial sementara laki-laki hanya dengan memberikan keterangan seadanya dapat langsung bebas dari jeratan hukum.
Dalam kehidupan keluarga posisi perempuanpun cenderung selalu dirugikan, seorang isteri seringkali dijadikan sebagai pekerja dan disisi lain sebagai ibu rumah tangga. Peran ganda yang dilakoni oleh isteri tentu saja hal yang sangat menyedihkan, disatu sisi harus melakukan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga seperti memasak, menjaga anak, mencuci, membersihkan rumah dan berbagai pekerjaan lainnya, disisi lain dia adalah seorang isteri yang harus melayani segala keperluan dan kebutuhan suami. Kenyataan ini tentu saja sebuah ketidakadilan bagi perempuan.
Pemahaman kita tentang posisi perempuan sebagai isteri dan ibu rumah tangga saat ini harus kita rubah, kalau kita memahami perempuan sebagai pendamping suami, maka disana akan terlihat perempuan tidak akan punya andil sama sekali dan perempuan tidak akan punya hak dalam memutuskan kebijakan apapun dalam keluarga, sehinga tidak akan pernah terlihat peran dan hak seorang isteri dalam memutuskan kebijakan dalam rumah tangga. Kemudian kalau kita menafsirkan perempuan sebagai mitra dari suami, maka dalam setiap pengambilan keputusan apapun isteri akan selalu dilibatkan atau akan selalu melalui jalan kompromi sehingga melahirkan kata sepakat, disana akan terlihat sejauhmana peran seorang isteri dan keterlibatannnya dalam ikut menentukan kebijakan dalam keluarga.
Sebuah keluarga yang didasarkan atas pola hubungan yang setara (equal) dan memahami keragaman individu dan memberikan ruang bagi timbulnya perbedaan pendapat maupun pluralisme, hal ini tentu saja akan menjadi cikal bakal tumbuhnya pemahaman dan perlakuan yang manusiawi bagi perempuan. Dengan demikian masing-masing tidak akan ada yang merasa tersubordinasi dan termarginalkan (terpinggirkan) baik mengenai akses dalam mengambil keputusan ataupun dalam meningkatkan ekonomi keluarga.
Mencermati berbagai bentuk penindasan yang menimpa kaum perempuan dewasa ini terutama pada masyarakat kita, Nusa Tenggara Barat terutama sekali kekerasan pisik yang sering menimpa kaum hawa, ini sangat menyedihkan dan memaksa kita untuk meneteskan air mata, dimana perempaun dijadikan sebagai pelampiasan nafsu dari pada mahkluk yang namanya laki-laki dan dengan berbagai stigma-stigma (pelabelan negatif) yang mencekal langkah kaum perempuan. Betapa menyedihkan bila membaca surat kabar yang memberitakan pemerkosaan terhadap wanita, yang dibarengi dengan tindakan kekerasan seperti pemukulan, penganiayaan dan berbagai macam bentuk kekersan lainnya.
Dengan melihat ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan, kita seharusnya mau membuka mata hati kita dan memberikan ruang yang sama untuk perempuan dan memposi-sikan mereka sebagai manusia yang mem-punyai hak yang sama dengan laki-laki. Memang ada perbedaan yang alami (natural) antara laki-laki dan perempuan, namun perbedaan tersebut jangan dijadikan sebagai pembatas dan pemasung hak-hak perempuan. Ketidakadilan bukan hanya persoalan kaum perempuan tetapi masalah ini adalah masalah kemanusiaan dan permasalahan semua orang, dan agama tidak pernah memandang kemu-liaan seseorang dari jenis kelaminnya, tetapi kemuliaannya tergantung dari amal kebaikan dan kebajikan yang diperbuat untuk kemas-lahatan manusia.
Lalu bagaimana kita memaknai hari Kartini , kalau  kita maknai Hari Kartini sebagai hari pembebasan kaum perempuan dari ketertin-dasan  mengapa  sampai hari ini masih banyak terdengar perlakuan kasar dan tidak manu-siawi terhadap perempuan. Atau kalau kita ingin maknai hari Kartini sebagai hari bang-kitnya perempuan dari keterkungkungan men-gapa perempuan banyak yang tidak berdaya dan rela menerima apa adanya. Makna apapun yang kita berikan kepada hari Kartini, yang jelas antara laki-laki dan perempuan mem-punyai hak dan kewajiban yang sama dalam menikmati kehidupan dan hasil pembangunan negeri ini.(WE)


 
Free Web Hosting | Top Web Host