Senin, 23 April 2012

Perbedaan dan Aksi kekerasan


Perbedaan atau keragaman adalah sebuah keniscayaan yang harus diterima sebagai hukum alam atau dalam bahasa agama sering disebut sunnatullah. Perbedaan atau keragaman akan selalu menghiasi setiap derap langkah kehidupan kita. Sebagai konsekuensi (akibat yang harus diterima) dari adanya keragaman adalah adanya peluang terjadinya pertentangan atau konflik yang senantiasa dapat terjadi setiap saat dan hanya waktulah yang akan menentukannya. Pertentangan atau konflik apapun bentuknya hanya akan mendatangkan kesengsaraan, terutama orang-orang yang terlibat dalam lingkaran tersebut. Akibat dari konflik yang ada, ketakutan dan perasaan was-was akan tetap menjadi bayangan yang menakutkan. Sudah berapa juta nyawa yang melayang sia-sia, berapa banyak harta benda yang hancur, dan pernahkah terbayang dalam benak kita masing-masing betapa sedih, pilu dan sakitnya perasaan ketika orang yang kita cintai pergi meninggalkan kita, harta benda yang kita sayangi hancur, hanya karena pertikaian yang sebenarnya tidak jelas ujung pangkalnya. Orang-orang besar sering menjadikan kita sebagai obyek kepentingan mereka, sehingga tanpa sadar kita sering masuk dalam perangkap mereka. Dengan mengangkat permasalahan agama, suku, ras atau yang lainnya, kita selalu merasa dipihak yang paling benar dan berhak menghakimi siapa saja yang tidak sependapat dengan kita, padahal kita sendiri tidak mengerti kebenaran mana yang kita bela.
Maka ketika muncul problem sosial dalam bentuk konflik yang melibatkan sistem dan symbol simbol agama, ras, suku atau yang lainnya maka yang segera muncul adalah semangat yang meluap - luap dengan eksperesi yang sulit diben-dung, orang sudah kehilang-an akal jernihnya, dalam benak mereka hanya ada kata pembalasan dan peng-hancuran. Dalam kondisi demikian, duduk permasa-lahan yang sesung-guhnya dan alternafif-alternafif pemecahannya menjadi benang kusut yang kian sulit untuk diurai dan memerlukan perhatian dan energi yang besar untuk memecahkannya, karena antara isu-isu tersebut sangat terkait dengan masalah-masalah sosial.
Beberapa peradigma (cara pandang) ilmu sosial menyatakan bahwa konflik atau pertentangan adalah sesuatu yang sudah menjadi sifat dasar dari individu yang lalu kemudian diinternalisasikan (dimasukkan) dalam kepentingan sebuah komunitas sehingga konflik akan menjadi komoditas (obyek) politik kepentingan kesejahteraan manusia atau menjadi komoditas kepentigan "perut" para kaum Opportunist (orang-orang yang pintar memanfaatkan kesempatan), sekecil apapun konflik yang terjadi tanpa ada i'tikad baik untuk menyelesaikannya dari semua elemen atau unsur yang terlibat maka konflik kecil bisa menjadi konflik laten yang sewaktu-waktu bisa meledak dan meng-hancurkan tatanan kehi-dupan yang sudah ada. Penyelesaian konflik jawabannya terletak pada kemauan bersama untuk  mengkonkritkan atau memperjelas konflik tersebut menjadi "anarkhis" atau "musyawarah" diantara dua pilihan tersebut yang cenderung muncul dipermukaan adalah trend (idola/kesenangan pada suatu masa) "kekerasan" yang dijadikan alat untuk kepentigan golongan dan individu oleh kelompok-kelompok yang mengatas-namakan agama, ras, dan suku. Kecenderugan masyarakat terhadap kekerasan yang di bungkus dengan baju yang mengatasnamakan solidaritas telah melupakan nilai-nila kemanusiaan yang tertuang dalam tradisi-tradisi keagamaan yang mengajarkan tentang bagaimana menghargai perbedaan yang ada.
Nusa Tenggara Barat termasuk daerah yang rawan dengan konflik, hal ini terbukti dengan beberapa kejadian yang secara bertubi-tubi melanda Nusa Tenggara Barat seperti peristiwa pengrusakan tempat-tempat ibadah yang mengatasnamakan solidaritas agama. Sejarah kelabu yang terjadi diawal tahun baru tersebut merupakan catatan buram dalam sejarah kehidupan beragama kita, belum lagi dengan penghakiman massal yang dilakukan oleh oknum pamswakarsa terhadap jama'ah Ahmadiyah dan konflik-konflik lain yang telah banyak merenggut nyawa dan harta benda.
Upaya kearah rekonsiliasi dan persaudaraan sejati yang dilakukan selama ini masih terbatas pada ruang komunikasi antara penguasa dan masyarakat, sehingga masih meninggalkan luka yang begitu mendalam. Bahkan sampai hari ini masih terdengar riak-riak kearah konflik, karena masing-masing kita masih tertutup oleh ego dan kesombongan yang melingkari hati kita. Kita masih saja memandang sesama sebagai makhluk yang harus disingkirkan, apakah hanya karena perbedaan kepentingan dan secara kebetulan tidak sepaham dengan kita lalu berhak menghakimi siapa saja, padahal kalau kita semua mau berkaca pada ajaran agama, tidak ada satu ayatpun yang memerintahkan kita untuk saling membunuh apalagi terhadap saudara seagama. Tetapi mengapa kita selalu cenderung menuruti keinginan hawa nafsu yang merupakan bisikan syaitan.
Berangkat dari fenomena sosial kehidupan yang sangat mengkhawatirkan dan mengancam kestabilan dan merusak nilai-nilai kemanusiaan, sebaiknya kita mau merenungi kembali ajaran agama dan nilai budaya agar kita bisa sedikit menahan diri dalam setiap langkah yang akan kita ambil.  Sikap saling terbuka antara sesama tanpa memandang dari agama, suku, atau ras apapun dia berasal, maka akan membuka ruang dialog yang akan menyadarkan kita semua, bahwa kita adalah manusia yang diciptakan dari bahan yang sama, mempunyai hak dan martabat yang sama dan sangat tidak adil apabila antara yang satu dengan yang lain saling mencurigai. Dengan terbukanya ruang untuk berkomunikasi dan saling mengenal masalah yang dihadapi oleh orang lain maka kita bisa saling membantu mencari jalan keluar untuk masalah yang dihadapi.
Perbedaan yang ada jangan kita pandang sebagai pembatas kita berkomunikasi, namun harus kita lihat sebagai alat perekat untuk membina persaudaraan sejati. Konflik kekerasan apapun alasannya hanya akan mendatangkan penderitaan dan kesengsaraan, kita masyarakat kecil yang dianggap tidak tahu apa-apa sering dijadikan sebagai komoditas atau obyek kepentingan mereka. Kalau kita sadar hal ini, konflik yang telah memakan banyak korban tidak akan pernah terulang kembali, biarlah konflik kekerasan yang terjadi baik yang mengatasnamakan agama, suku dan ras menjadi kenangan pahit yang harus kita kubur dalam-dalam. Saat ini, kita harus membatasi ruang gerak para kaum oportunis yang hanya mementingkan kepentingan perut sesaat, kita sudah bosan dijadikan sebagai korban kepentingan. Sikap selalu mawas diri mungkin hal terbaik yang tetap harus kita lakukan disaat situasi seperti ini.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Web Hosting | Top Web Host