Perbedaan atau
keragaman adalah sebuah keniscayaan yang harus diterima sebagai hukum alam atau
dalam bahasa agama sering disebut sunnatullah. Perbedaan atau keragaman akan
selalu menghiasi setiap derap langkah kehidupan kita. Sebagai konsekuensi
(akibat yang harus diterima) dari adanya keragaman adalah adanya peluang
terjadinya pertentangan atau konflik yang senantiasa dapat terjadi setiap saat
dan hanya waktulah yang akan menentukannya. Pertentangan atau konflik apapun
bentuknya hanya akan mendatangkan kesengsaraan, terutama orang-orang yang
terlibat dalam lingkaran tersebut. Akibat dari konflik yang ada, ketakutan dan
perasaan was-was akan tetap menjadi bayangan yang menakutkan. Sudah berapa juta
nyawa yang melayang sia-sia, berapa banyak harta benda yang hancur, dan
pernahkah terbayang dalam benak kita masing-masing betapa sedih, pilu dan
sakitnya perasaan ketika orang yang kita cintai pergi meninggalkan kita, harta
benda yang kita sayangi hancur, hanya karena pertikaian yang sebenarnya tidak
jelas ujung pangkalnya. Orang-orang besar sering menjadikan kita sebagai obyek
kepentingan mereka, sehingga tanpa sadar kita sering masuk dalam perangkap
mereka. Dengan mengangkat permasalahan agama, suku, ras atau yang lainnya, kita
selalu merasa dipihak yang paling benar dan berhak menghakimi siapa saja yang
tidak sependapat dengan kita, padahal kita sendiri tidak mengerti kebenaran
mana yang kita bela.
Maka ketika muncul
problem sosial dalam bentuk konflik yang melibatkan sistem dan symbol simbol
agama, ras, suku atau yang lainnya maka yang segera muncul adalah semangat yang
meluap - luap dengan eksperesi yang sulit diben-dung, orang sudah kehilang-an
akal jernihnya, dalam benak mereka hanya ada kata pembalasan dan peng-hancuran.
Dalam kondisi demikian, duduk permasa-lahan yang sesung-guhnya dan
alternafif-alternafif pemecahannya menjadi benang kusut yang kian sulit untuk
diurai dan memerlukan perhatian dan energi yang besar untuk memecahkannya,
karena antara isu-isu tersebut sangat terkait dengan masalah-masalah sosial.
Beberapa peradigma
(cara pandang) ilmu sosial menyatakan bahwa konflik atau pertentangan adalah
sesuatu yang sudah menjadi sifat dasar dari individu yang lalu kemudian diinternalisasikan
(dimasukkan) dalam kepentingan sebuah komunitas sehingga konflik akan menjadi
komoditas (obyek) politik kepentingan kesejahteraan manusia atau menjadi
komoditas kepentigan "perut" para kaum Opportunist (orang-orang yang
pintar memanfaatkan kesempatan), sekecil apapun konflik yang terjadi tanpa ada
i'tikad baik untuk menyelesaikannya dari semua elemen atau unsur yang terlibat
maka konflik kecil bisa menjadi konflik laten yang sewaktu-waktu bisa meledak
dan meng-hancurkan tatanan kehi-dupan yang sudah ada. Penyelesaian konflik
jawabannya terletak pada kemauan bersama untuk
mengkonkritkan atau memperjelas konflik tersebut menjadi "anarkhis"
atau "musyawarah" diantara dua pilihan tersebut yang cenderung muncul
dipermukaan adalah trend (idola/kesenangan pada suatu masa)
"kekerasan" yang dijadikan alat untuk kepentigan golongan dan
individu oleh kelompok-kelompok yang mengatas-namakan agama, ras, dan suku.
Kecenderugan masyarakat terhadap kekerasan yang di bungkus dengan baju yang mengatasnamakan
solidaritas telah melupakan nilai-nila kemanusiaan yang tertuang dalam
tradisi-tradisi keagamaan yang mengajarkan tentang bagaimana menghargai
perbedaan yang ada.
Nusa Tenggara Barat
termasuk daerah yang rawan dengan konflik, hal ini terbukti dengan beberapa
kejadian yang secara bertubi-tubi melanda Nusa Tenggara Barat seperti peristiwa
pengrusakan tempat-tempat ibadah yang mengatasnamakan solidaritas agama.
Sejarah kelabu yang terjadi diawal tahun baru tersebut merupakan catatan buram
dalam sejarah kehidupan beragama kita, belum lagi dengan penghakiman massal
yang dilakukan oleh oknum pamswakarsa terhadap jama'ah Ahmadiyah dan
konflik-konflik lain yang telah banyak merenggut nyawa dan harta benda.
Upaya kearah
rekonsiliasi dan persaudaraan sejati yang dilakukan selama ini masih terbatas
pada ruang komunikasi antara penguasa dan masyarakat, sehingga masih
meninggalkan luka yang begitu mendalam. Bahkan sampai hari ini masih terdengar
riak-riak kearah konflik, karena masing-masing kita masih tertutup oleh ego dan
kesombongan yang melingkari hati kita. Kita masih saja memandang sesama sebagai
makhluk yang harus disingkirkan, apakah hanya karena perbedaan kepentingan dan
secara kebetulan tidak sepaham dengan kita lalu berhak menghakimi siapa saja,
padahal kalau kita semua mau berkaca pada ajaran agama, tidak ada satu ayatpun
yang memerintahkan kita untuk saling membunuh apalagi terhadap saudara seagama.
Tetapi mengapa kita selalu cenderung menuruti keinginan hawa nafsu yang
merupakan bisikan syaitan.
Berangkat dari
fenomena sosial kehidupan yang sangat mengkhawatirkan dan mengancam kestabilan
dan merusak nilai-nilai kemanusiaan, sebaiknya kita mau merenungi kembali
ajaran agama dan nilai budaya agar kita bisa sedikit menahan diri dalam setiap
langkah yang akan kita ambil. Sikap
saling terbuka antara sesama tanpa memandang dari agama, suku, atau ras apapun
dia berasal, maka akan membuka ruang dialog yang akan menyadarkan kita semua,
bahwa kita adalah manusia yang diciptakan dari bahan yang sama, mempunyai hak
dan martabat yang sama dan sangat tidak adil apabila antara yang satu dengan
yang lain saling mencurigai. Dengan terbukanya ruang untuk berkomunikasi dan
saling mengenal masalah yang dihadapi oleh orang lain maka kita bisa saling
membantu mencari jalan keluar untuk masalah yang dihadapi.
Perbedaan
yang ada jangan kita pandang sebagai pembatas kita berkomunikasi, namun harus
kita lihat sebagai alat perekat untuk membina persaudaraan sejati. Konflik
kekerasan apapun alasannya hanya akan mendatangkan penderitaan dan
kesengsaraan, kita masyarakat kecil yang dianggap tidak tahu apa-apa sering
dijadikan sebagai komoditas atau obyek kepentingan mereka. Kalau kita sadar hal
ini, konflik yang telah memakan banyak korban tidak akan pernah terulang
kembali, biarlah konflik kekerasan yang terjadi baik yang mengatasnamakan
agama, suku dan ras menjadi kenangan pahit yang harus kita kubur dalam-dalam.
Saat ini, kita harus membatasi ruang gerak para kaum oportunis yang hanya
mementingkan kepentingan perut sesaat, kita sudah bosan dijadikan sebagai
korban kepentingan. Sikap selalu mawas diri mungkin hal terbaik yang tetap
harus kita lakukan disaat situasi seperti ini.
0 komentar:
Posting Komentar