Kamis, 29 Maret 2012

Jadwal Peringatan HUT Dompu Yang Ke 197

Kab. Dompu saat ini tengah memasuki usia ke 197 tahun. Dalam rangka Pelaksanaan Peringatan Hari Jadi Kab. Dompu Ke 197 Tahun 2012 kali ini mengangkat tema : Dengan Semangat HAri Jadi Dompu Ke 197 Dompu Ku Bangun Ku JAga dan Ku Bela Dengan Cara Kerja Keras, Kerja Cerdas, Kerja Tuntas, Kerja Ikhlas".
Peringatan tersebut merupakan salah satu agenda rutin yang dilakukan sinergis oleh pemerintah bersama seluruh lapisan masyarakat. Adapun Beberapa kegiatan dalam memeriahkan hari jadi  tersebut, di antaranya :
No
Nama kegiatan

Jenis
Waktu
1
Lomba Olahraga
A
Lomba Kebersihan Kelurahan dan Desa KEc Dompu, Pajo dan Woja
5 Maret – 11 April 2012


B
Gerak jalan santai 4 Km
27 maret 2012


C
Gerak jalan santai 11 Km
28 maret 2012


D
TArik tambang
02 – 04 April 2012


E
Lari karung
04 – 07 April 2012


F
Tapa gala
06 – 08 April 2012


G
Ngaha kawiri masal
08 April 2012


H
Fun bike
08 April 2012


I
Benhur Hias
09 April 2012


J
Pawai budaya dan Ziarah
10 April 2012


K
Panjat Pinang
11 April 2012


L
Sanggar dan teater
31 Maret - 02 April 2012


M
Pidato bahasa daerah
03 April 2012


N
Kareku kandei
04 April 2012


O
Hadrah, biola
05 – 09 April 2012





2
Bakti Sosial
A
Pembersihan Kota
29 MAret 2012


B
Tempat kerja/ kantor
30 – 31 MAret 212


C
Sunatan Masal
01 April 2012


D
Pengobatan Gratis
01 April 2012





3
Upacara Peringatan
A
Upacara bendera
11 April 2012


B
Tari adat dompu
11 April 2012


C
Kareku kandei
11 April 2012


D
Marching Band PElajar
11 April 2012


E
Zikir dan doa bersama
11 April 2012


Lomba Gerak Jalan Tepat Waktu Dalam Rangka HUT Dompu ke 197

Ditandai dengan pengibaran bendera, Bupati Dompu H.Bambang M.Yasin melapas peserta lomba gerak jalan tepat waktu, di lapangan Umum Desa Bara Kec. Woja Kab.Dompu. Peserta lomba yang berjumlah sekitar 250 regu adalah terdiri dari berbagai SKPD, Kecamatan, Desa/ Kelurahan, BUMN, Swasta, dan masyarakat umum yang ada di Kabupaten Dompu.

Gerak jalan ini diselenggarakan Pemerintah Daerah Kabupaten Dompu guna memeriahkan peringatan hari jadi Kabupaten Dompu ke-197 Tahun 2012.
Karena dengan begitu banyaknya peserta yang mengikuti lomba, Lapangan Desa BAra yang luasnya cukup lumayan terlihat padat dipenuhi peserta lomba.

Kegiatan yang dilaksanakan selama 2 hari yaitu Hari Selasa Tanggal 27 Maret 2012 adalah khusus untuk peserta perempuan dengan jarak tempuh lebih kurang 4km star dari lapangan beringin dan finish di lapangan umum Kelurahan Kandai Dua Kec. Woja sedangkan kemarin hari Rabu tanggal -28 MAret 2012 adalah peserta laki-laki dengan jarak tempuh lebih kurang 11 km  yaitu star dari lapangan umum Desa Bara dan finish di Lapangan Beringin.

Dalam Sambutannya Bapak Bupati Dompu mengatakan bahwa Dalam memperingati hari jadi kabupaten karena memperingati hari kelahiran kabupaten itu adalah hari kelahiran satu daerah, maka seluruh masyarakat yang ada di dalamnya harus mengetahui dan merasakan prosesi peringatan yang dilakukan, termasuk masyarakat sipil.

Selasa, 27 Maret 2012

Menggagas Pendidikan Transformatif

Makin kompleksnya interaksi ummat manusia, menyebabkan tuntutan terhadap lembaga pendidikan semakin meningkat, sementara pembaharuan pendidikan di Indonesia selama ini belum memecahkan masalah mendasar atau substansial. Isu pendidikan selalu datang dari para pengambil keputusan dan bukan datang dari lapangan, (misalnya dari guru atau perserta didik ). (Al-Jufi, kompas 17 Mei 1999 hal 28). Pembaharuan pendidikan seharusnya bertumpu pada teori dan pegetahuan baru yang sedang berkembang dalam pendidikan, jangkauan masalah umumnya sangat pendek, sementara lembaga pendidikan di rancang untuk melihat jauh ke depan .
Pendidikan  sesungguhnya selalu bersangkut paut dengan masa depan. Pendidikan pada dasarnya adalah "usaha sadar untuk meyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pegajaran, atau latihan bagi perannya di masa yang akan datang (Pasal 1 UUPN,No.2,1989)". Akan tetapi dalam keyatannya, sesungguhnya kegiatan pendidikan baik melalui jalur sekolah, maupun luar sekolah yang sudah dirancang dan dilaksanakan dengan kesadaran penuh akan perlunya mempersiapkan generasi muda agar mampu menghadapi tantagan hidupnya dimasa depan. Kenyatannya sekolah-sekolah sebagai lembaga pendidikan formal kurang mampu mengikuti dan menhadapi arus perubahan cepat yang terjadi dalam masyarakat. Kondisi riil tersebut diatas, yaitu ketidak sesuaian antara teori dan praktik atau yang seharusnya dengan kenyatan yang ada memotivasi penulis untuk mengemukakan atau mengangkat persoalan tentang Mengagas Pendidikan Transformatif Abad 21. Persoalan yang akan dalam tulisan ini yaitu; Apa dan bagaimana pendidikan trasformatif, kaitannya dengan konsep Islam, bagaimana pendidikan di Indonesia, dan seharusnya bagaimana pendidikan di Indonesia.
Pendidikan transformatif dapat dilihat dari dua sisi pertama, pendidikan yang mampu menyesuaikan diri dengan gerakan atau berbagai perubahan baik internal maupun eksternal . Kedua, mampu mampu melahirkan orang-orang yang membuat perubahan. Kegiatan pandidikan akan berhasil membekali peserta didik dalam menghadapi berbagai gerakan perubahan  (tantangan hidup dimasa depan dan mampu mega-tasinya ), maka :1. Pendidikan harus tanggap terhadap situasi persaingan dan kerja sama global .2. Pendidikan mampu membentuk peribadi yang mau belajar seumur hidup. 3. Pendidikan untuk meyadari pentingnya dan mengupayakan terlaksananya pendidikan nilai. (J.Sudarmanto,2000).
Untuk merealisasikan pendidikan transfomatif, maka seharusnya penyelengaraan pendidikan tanggap terhadap tantanggan modernitas. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi  telah menbuat seluruh dunia ini bagaikan sebuah "desa gelobal". Melalui internet, tv, radio dan sebagainya perang lrak, kejadian sekecil apapun dalam waktu singkat telah tersebar dunia. Secara ekonomis, politik, maupun budaya kehidupan ummat manusia di dunia saling terpaut. Sementara pendidikan di Indonesia kaku dan sentralistik, sistim pendidikan nasional tidak pernah mempertimbangkan keyataan yang ada dalam masyarakat, namun malah ditunjang  oleh sistem pendidikan birokrasi yang kaku. Seharusnya pendidikan di Indonesia mengacu pada visi pendidikan abad 21 abad yang global sekaligus plural menurut UNESCO yaitu : 1.Learning To think (Belajar bagaimana berpikir ), 2.Learnig To Do (Belajar hidup atau belajar bagaimana berbuat / bekerja). 3.Learnig To Be (Belajar tetap hidup atau sebagai dirinya ), 4. Learning To live together (Belajar untuk hidup bersama-sama).
Kaitannya hal tersebut diatas Al-Qur'an megajarkan untuk berpikir dan belajar "afala ta'qilum"(apakah kamu tidak menggunakan akal untuk berpikir ?). Pada abad 21 ini, kita ditunut untuk terus berpikir dengan terus megikuti perkembangan global dan sekaligus mengembangkan alat-alat yang di gunakan dalam information tecknologi yang menjadi salah satu ciri globalisasi. Pendidikan dituntut mampu berbuat sekaligus mampu memperbaiki kualitas hidup. Dalam Islam perintah Allah kepada hambanya agar beramal shaleh / perbuatan sebagai salah satu syarat agar tidak berada pada tempat yang paling rendah (asfala sa'filin).
Learning to be dalam bahasa agama akan menghasilkan sikap tau diri, sikap memahami dirinya sendiri, dan natinya akan mampu menjadikan dirinya mandiri  (Man arafa afsa fa-qad arafa rapbbah). Learnig to live together. Ini merupakan dunia keyataan , pluralisme. Dalam Islam haya aqidah yang tidak diperbolehkan campuran “Lakum dinukum waliyadin” Agama untukmu dan agamaku untukku. Islam jelas memerintahkan perlunya saling mengenal dan saling belajar serta saling memafaatkan / membantu satu sama lain meski berbeda suku, bahasa, wara negara dan lain-lainnya.
Selanjutnya mewujudkan pendidikan transformatif, penyelenggaraan pendidikan untuk membentuk pribadi yang mampu belajar seumur hidup (life long learning), itu sangat penting karena kehidupan masa depan akan semakin kompleks dan di tandai oleh perubahan sosial yang semakin cepat. Dalam ajaran Islam disebut dalam hadis, "utlubul ilme minal mahdi ilal lahdi ". Tuntutlah ilmu sejak dari buaian sampai masuk liang lahat.
Hasil beberapa temuan penelitian melalui beberapa eksperimen dalam psikologi kognitif mempelajari mereka yang berhasil menyikapi situasi yang kompleks umumnya memiliki :1) pengetahuan umum yang luas. 2).Kepercayaan diri yang lebih besar dan tidak takut gagal. 3). Kemauan untuk mengambil keputusan, 4). Daya menimbang dan memutuskan yang lebih baik megenai perkara-perkara penting, 5). Kemampuan mengajukan pertayaan-pertayaan "mengapa" yang lebih mendalam (Y B Adaimassana, 36).
Alternatif lain untuk terlaksananya pendidikan transformatif adalah : pendidikan yang menyadari dan mengupayakan  terlaksananya pendidikan nilai. Pendidikan nilai sejak Orde baru hingga sekarang tampaknya telah jatuh ke dalam pengajaran nilai-nilai yang indoktrinatif-normatif, yang hanya singgah dikepala sebentar menjelang saat-saat ujian dan setelah itu terlupakan tidak pernah masuk kehati dan tidak pernah dilaksanakan dalam hidup, semboyan " Kita belajar  bukan demi sekolah tetapi demi hidup" tampaknya tidak diikuti lagi, yang diikuti justru sebaliknya yaitu "Kita belajar bukan demi hidup tapi demi sekolah".
Tantangan masa depan yang terkait erat dengan perubahan sosial yang semakin cepat adalah tantangan yang menyakut pergeseran nilai-nilai masyarakat. Penyebab pergeseran nilai adalah pendidikan  sekolah yang klasikal dan semakin bercorak massal dan formal, sehingga proses pendidikan di sekolah menjadi dangkal atau tidak mendasar. Pelajaran-pelajaran menjadi acara formal, proses dan isinya tidak di pandang terlalu penting . Nilai ujian bisa diatur. Kaitannya dengan pendidikan nilai ini hadis nabi yang sangat populer menyebutkan :"Innama bu'istu li'utam mimakarima l-akhlaq (Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia  ).
Mengingat situasi dan kondisi pendidikan di Indonesia dewasa ini yang secara umum masih memprihatinkan, ditambah dengan krisis ekonomi dan krisis moral yang sedang melanda bangsa. Menggagas Pendidikan transformatif di abad 21 ini justru merupakan tantangan dunia pendidikan, sementara masalah-masalah yang sedang dihadapi yaitu: masih rendahnya mutu pendidikan, belum memadainya sistem pembelajaran pendidikan dan lain-lainnya. Alternatif pemecahan untuk mengatasi persoalan ini perlu evaluasi holistik atas seluruh sistem pendidikan sambil memperhatikan dinamika hidup sosial dalam masyarakat.

Forum Komunikasi Petani Dompu (FKPD) Demo Harga Jagung

Forum Komunikasi Petani Dompu dan didukung oleh beberapa forum tani lainnya, pada hari Senin (26 MAret 2012) kemarin melakukan aksi unjuk rasa di Perempatan Cakre Kelurahan MOntabaru Woja, mereka menuntut kenaikan harga jagung hingga mencapai Rp.5000/kg. Terkait dengan itu mereka juga mengeluhkan terkait tidak adanya fasilitas gudang penampung, alat pengering jagung, dan ketersediaan alat transportasi pengangkutan jagung. Dan bahkan dulu petani dijanjikan bantuan bibit, pupuk, obat-obatan dan modal untuk biaya penggarapan juga diberikan oleh pemerintah tetapi kenyataannya sekarang harga jagung pun tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Selain menuntut kenaikan harga jual jagung, masa aksi juga mendesak agar pemerintah segera memfungsikan Perusda “KApoda Rawi” untuk melakukan pembelian jagung dan mensosialisasikan harga jagung kepada masyarakat. Karena mereka menilai keberadaan SATLAK di KAbupaten Dompu sangat tidak membantu bagi mereka para petani jagung.
Masa aksi dalam orasinya juga menuntut agar pemerintah Daerah khususnya Bupati agar segera membubarkan SATLAK karena sudah dianggap tidak beermanfaat lagi bagi para petani jagung dan sebaiknya memfungsikan keberadaan Tenaga Penyuluh Pertanian yang ada di Desa.(EN)

Minggu, 25 Maret 2012

Bias Gender sebuah Implikasi Cultural (Upaya Reflektif Islam dan Budaya)


“Islam,  adalah sebagai pelopor semangat anti patriarkhi dan bukanlah agama Pelestari budaya patriarkhi., tapi andaikan ia terlepas dari fakta normatif dan firgiditas historis sebagaimana yang telah dicitrakan oleh Waktu dan sejarah itu sendiri”

Pengantar

Keadilan bermakna terjadinya kesepahaman atas pola komunikasi serta pembagian peran yang signifikan bagi setiap manusia, sehingga tidak terjadinya miss interpetasi maupun aplikatif yang bias, oleh karenannya makna keadilan adalah kesetaraan dan kesamaan hak bagi setiap individu dalam kontek apapun, lebih lebih sebagai manusia dan warga negara.
Perbincangan yang terus menerus menjadi konsumsi publik dewasa ini adalah perihal ketidak adilan gender, berawal dari pemaknaan gender yang secara termenilogi memang mencerminkan an sich latar belakang cultur western, sehingga banyak orang menyatakan bahwa gender adalah wacana hegemonik western yang akan melakukan ekspansi liberalism ke dunia timur (seperti Indonesia) , terlepas apapun yang melatari teks tersebut (gender) bahwa pada kenyataannya hal tersebut secara cultural di Indonesia adalah sebagai sebuah kenyataan sosial yang tidak dapat disembunyikan, bahwa memang perempuan masih menjadi manusia nomor dua dan sebagai objek kekerasan. Dalam kaca mata ideal Gender adalah terjadinya kesetaraan dalam pembagian peran secara sadar oleh siapapun baik dia perempuan atau laki laki. Mansour faqih menggaris bawahi beberapa inti permasalahan yang menjadikan  dikalangan perempuan sebagai objek kuasa di masa masa kini dan sangat potensial untuk menindas perempuan, yaitu, Diskriminasi, Sub Ordinat, Stigmatisasi, Double borden, Stereo type. Yang beberapa inti permasalahan tersebut terjadi diranah cultural (Adat/Kebiasaan) yang lalu berimplikasi pada ranah struktural (Negara), sehingga perempuan sebagai bagian dari komunitas masyarakat dan sebagai warga negara. Tertindas secara ganda.
Kerap kita dengar begitu banyaknya wanita yang diperlakukan dengan senonoh, oleh lawan jenisnya, Kekuasaan, Agama dan Budaya yang kesemuanya menghinggap dan membekas dalam alam kognitif kita dan lalu mengatakan itu sesuatu yang “wajar” adanya serta tidak perlu diperdebatkan kembali makna bias didalamnya, sehingga fenomena kawin cerai,  perempuan didapur, kerjaanya diwilayah domestik, perempuan menjadi pekerja komersial Sex, yang kesemuanya itu adalah kekerasan serta bentuk ketidak adilan gender yang dikonstruksikan oleh nilai nilai sebagaimana  ditampakan dalam simbol maupun struktur budaya baku yang ada, hal itu akan menjadi angin lalu yang tak berarti,  pada kenyataannya hal tersebut tidak berdiri dengan sendirinya,  akan tetapi pengaruh back ground dominan lah  mendesak yang kemudian berubah dalam wujud kebiasaan.
Sebagai sebuah konstruksi sosial Gender adalah sesuatu yang tidak mapan serta selalu berubah senantiasa menyesuaikan dirinya dalam konteks ruang dan waktu tertentu dan  hal itu telah berlangsung secara historical, oleh karenannya  peran identitas perempuan (sumur, kasur dan dapur) di wilayah domestik serta tidak boleh ke ranah publik dan dulunya dimaknai sebagai sebuah keadilan, adalah akibat  lahirnya interpetasi keadilan dalam ruang dan waktunya sendiri serta pengaruh wilayah sosio kultural yang mengkonstruksinya dengan memunculkan implikasi yang sangat luar biasa adalah munculnya Firgiditas dan kejumudan dalam memandang makna keadilan gender, sehingga menjadi “pembenaran” terhadap pola relasi yang dibangun.
Demikian pula realitas cultural di Indonesia yang melahirkan budaya patriarkhi dan cenderung menempatkan perempuan pada posisi yang tersubordinat dinomor duakan serta memarginalkannya dari segala proses penentuan kebijakan diwilayah cultural, hal ini dapat kita temui dengan banyaknya kasus kawin cerai, perkosaan, bahkan peran publik yang sangat terbatas bagi perempuan, perempuan ditempatkan sebagai objek perlakuan eksploitasi dan tidak sebagai subjek “kekuasaan”. Hal tersebut bukan  takdir dalam bahasa agama akan tetapi konstruksi sosial atas yang kuasa terhadap yang dikuasakan.

Libido dan reproduksi kekuasaan

Meminjam istilahnya freud, bahwa segala sesuatu yang diproduksi oleh kekuasaan (cultural)  adalah akibat dari pengaruh “libido” nya seorang lelaki sehingga sebuah keputusan yang ditentukannya berdasar ego/emosi kelaki -  lakiannya akibat dominasi alam kelaki lakian yang lalu berakibat tanpa melibatkan unsur diluarnya yaitu perempuan. Begitu juga dengan result historis yang timpang dan tidak seimbang yang sudah terstruktur dalam sistim budaya masyarakat adalah akibat adanya ranah libido yang dominan secara psikologis yang berimplikasi pada segala kebijakan yang dilahirkan.
Fakta Cultural  seperti yang menetukan kebijakan dalam Struktur budaya adalah merupakan bagian dari kebijakan laki laki an sich begitu juga dalam agama pasti laki laki yang memegang peran dominan, Tuan Guru, Kiyai atau Ustad hanya didominasi laki laki, ketika bagian dari penentu kebijakan tersebut hanya dipihak laki laki maka terus menerus kebijakan Cultural dan Agama hanya bercermin serta bersumber pada libido, lalu peluang keberpihakannya sangat dominan pada adat serta kebiasaan laki laki yang secara historis sudah dicitrakan sebagai mahluk superior, perkasa dan harus menjadi pemimpin.
Landasan teoritik yang disampaiakn freud tersebut adalah sesuatu yang patut direnungkan secara bersama, bahwa kelaki- lakian lah yang telah mendominasi ranah feminimnya perempuan, oleh karenanya laki laki harus sadar bahwa dalam upaya melahirkan perangkat kehidupan yang diciptakan harus melibatkan perempun dengan ranah feminimnya yang utuh sehingga tertata keseimbangan pola relasi yang adil dan tanpa bias gender.
Dengan demikian bahwa Bias gender disatu sisi akibat dari “faktor psiklogi” kekuasaan yang pada awalnya secara dominan dikuasai oleh laki laki dengan libido nya, yang dimana  akan melahirkan kebijakan serta tatanan sosio - cultural yang tidak imbang. Yang lebih parsial lagi adalah ketika libido tersebut hanya berpihak pada wilayah kenyataan kelaki-lakian an-sich serta tidak mampu menangkap hakikat atau takdir kemanusiaan yang real, dimana setiap manusia seharusnya mendapat posisi yang sama di mata kekuasaan baik diwilayah cultural maupun struktural sehingga bagi siapapun dan selama ia adalah manusia maka sudah seharusnya ditempatkan sebagai manusia. Perempuan yang selama ini di labelkan sebagai mahluk lemah, serta tidak berhak untuk “tahu” aktivitas laki laki sesungguhnya akan menempatkan perempuan setelah laki laki dan melahirkan budaya patriarkhi yang berwatak menindas, seharusnya perempuan juga sebagai manusia yang mempunyai hak hak kemanusiaan yang setara.
Islam dan Budaya Patriarkhi
Agama sebagai salah satu perangkat kehidupan yang telah menunjukan kontributif nilainya dalam menata pola relasi manusia dengan komunitasnya, lebih lebih Islam sebagai sebuah agama yang dianut secara mayoritas di Indonesia dan telah turut mengkonstruksi tatanan kehidupan manusia Indonesia baik secara langsung maupun tidak.
Disisi lain permasalahan dalam agama (Islam) adalah ketika makna sebuah kebenaran yang terus menerus secara historical diyakini bahkan “dibetulkan” sebagai sebuah kebenaran serta tanpa upaya reinterpetasi terhadap norma - norma dan kitab Fiqih panduan yang telah dibakukan menjadi panduan yang benar dan tetap diakui kebenarannya berkontributif pula untuk tetapnya serta harus adanya pengakuan patriarkhil tersebut, padahal dalam kenyataannya interpetasi agama sebagai sebuah kebenaran adalah sangat terbatas oleh ruang dan waktu serta fakta sosio cultural bagi perangkat norma agama (Islam) itu sendiri, demikian pula adanya budaya patriarkhi dalam Islam yang besar dipengaruhi oleh Libido, yang terinternalisasikan dalam struktur dan simbol budaya masyarakat yang selanjutnya di justifikasi kembali dengan teks suci agama (Al-Qur’an).
Kita mengetahui ketika Muhammad diturunkan di Muka bumi sebagai Nabi yang membawa cahaya kebenaran bagi umat manusia, dimasanya dia dikenal sebagai pahlawan revolusioner sejati yang telah berhasil menata pola kehidupan yang imbang dizamannya dan melakukan pembebasan kemanusiaan yang radikal, Perempuan yang ditempatkan sebagai budak oleh zaman zahiliyah, perempuan yang dipandang hina, perempuan yang dijadikan harta warisan, dalam pandangan keagamaan Muhammad adalah  tidak manusiawi, sehingga Muhammad meneriakkan kebenaran bahwa tidak ada lagi bayi perempuan yang  dibunuh, tidak ada lagi perempuan yang diwariskan akan tetapi mereka adalah manusia yang sama serta wajib mendapatkan haknya sebagai manusia.
Artinya hal tersebut mengilustrasikan kepada seluruh alam ini bahwa semangat yang dibangun oleh Islam adalah semangat yang anti patriarkhi serta berpihak kepada kemanusiaan, hal tersebut menunjukan secara hakiki bahwa Islam sendiri pada hakikatnya adalah agama yang berpihak pada kesetaraan nasib perempuan dengan kekuasaan maupun laki laki, sehingga Islam terlepas dari fakta normatif dan firgiditas historis,  sebenarnya sebagai pelopor semangat anti patriarkhi dan bukanlah agama Pelestari budaya patriarkhi.sebagaimana yang telah dicitrakan oleh Waktu dan sejarah

Dialog agama dan Budaya menuju pembebasan perempuan

Agama dan Budaya adalah faktor yang sangat penting dalam peradaban kemanusiaan dimuka bumi ini, begitu pula dengan budaya yang nota benenya sebagai perangkat manifestasi konkret agama  berposisi pada tempat yang sangat penting, maka kedua duanya sesuatu yang saling mengaitkan dalam meng-konstruksi tatanan sosio cultural karena perangkat nilai sebuah norma bersumber dari agama dan budaya.
Begitu pula  relasi perempuan dengan lelaki maupun kekuasaan pada awal nya terkonstruksi oleh agama dan budaya masa lalu yang mapan sehingga gagap menghadapi sesuatu yang baru, ketika teks agama secara historis menjawab masa kini, kenyataan perempuan dimasa lalu apakah relevan dengan realitas aktual.
Ketika agama (secara historis) tidak lagi mampu membaca realitas kontekstual maka dia akan ditindas serta terkesan status quo bahkan statis,  disinilah agama menjadi stigma atas ketidak mampuannya membela kaum tertindas, sehingga yang tanpak dalam budayapun adalah kelemahan budaya dalam menjawab realitas tersebut,oleh karenanya upaya dialog agama dengan realitas cultural kontekstual harus terus menerus dilahirkan.
Dialog yang dimaksud adalah sebagai perangkat analisis yang menetik beratkan  terjadinya sirkulasi yang terus menerus dan upaya kritis atas realitas yang berlangsung, sehingga analisis ini menyandarakan terjadinya sirkulasi perubahan pada ruang dan waktu, demikian pula dengan  Agama dan Budaya yang saling berkorelasi negatif dan positif sehingga kecendrungan Negatif dan positifnya tergantung ruang dan waktu, dengan lain kata bahwa sesuatu yang dianggap benar dalam interpetasi teks agama atau sebuah budaya pada masa tertentu, akan dipertanyakan kembali dimasa yang lainnya,  apakah hal itu relevans dengan keadaan dan situasi  bagi kita yang tentu ruang dan waktu maupun sosio culturalnya berbeda dengan masa lalu.
Jikalau tidak ada upaya dialog, baik itu dengan aspek dominan yang membentuk simbol struktural wilayah cultural seperti ketidak berpihakan agama serta adat (norma dan perangkat lainnya) kebiasaan masyarakat dengan realitas kontekstual ketertindasan perempuan maka wilayah culturallah yang berkontribusi terhadap terkonstruksi bias gender dan ketertindasan perempuan yang berlipat ganda.
Oleh karenannya refleksi substansial yang harus dilakukan oleh para penentu kebijakan cultural dan struktural adalah bagaimana mengeliminasi faktor libido serta meluruskan interpetasi keterbatasan Islam sebagai seperangkat nilai yang berkontributif dalam menata tatanan sosio cultural masyarakat, sehingga tertata kehidupan yang dinamis dan tetap dalam kerangka keadilan bagi setiap manusia Indonesia tanpa membedakan identitas Gen-nya.(W)

Selanjutnya “Berbincangah” Dengan Kebesaran Tuhanmu, Amin

 
Free Web Hosting | Top Web Host