Minggu, 25 Maret 2012

Bias Gender sebuah Implikasi Cultural (Upaya Reflektif Islam dan Budaya)


“Islam,  adalah sebagai pelopor semangat anti patriarkhi dan bukanlah agama Pelestari budaya patriarkhi., tapi andaikan ia terlepas dari fakta normatif dan firgiditas historis sebagaimana yang telah dicitrakan oleh Waktu dan sejarah itu sendiri”

Pengantar

Keadilan bermakna terjadinya kesepahaman atas pola komunikasi serta pembagian peran yang signifikan bagi setiap manusia, sehingga tidak terjadinya miss interpetasi maupun aplikatif yang bias, oleh karenannya makna keadilan adalah kesetaraan dan kesamaan hak bagi setiap individu dalam kontek apapun, lebih lebih sebagai manusia dan warga negara.
Perbincangan yang terus menerus menjadi konsumsi publik dewasa ini adalah perihal ketidak adilan gender, berawal dari pemaknaan gender yang secara termenilogi memang mencerminkan an sich latar belakang cultur western, sehingga banyak orang menyatakan bahwa gender adalah wacana hegemonik western yang akan melakukan ekspansi liberalism ke dunia timur (seperti Indonesia) , terlepas apapun yang melatari teks tersebut (gender) bahwa pada kenyataannya hal tersebut secara cultural di Indonesia adalah sebagai sebuah kenyataan sosial yang tidak dapat disembunyikan, bahwa memang perempuan masih menjadi manusia nomor dua dan sebagai objek kekerasan. Dalam kaca mata ideal Gender adalah terjadinya kesetaraan dalam pembagian peran secara sadar oleh siapapun baik dia perempuan atau laki laki. Mansour faqih menggaris bawahi beberapa inti permasalahan yang menjadikan  dikalangan perempuan sebagai objek kuasa di masa masa kini dan sangat potensial untuk menindas perempuan, yaitu, Diskriminasi, Sub Ordinat, Stigmatisasi, Double borden, Stereo type. Yang beberapa inti permasalahan tersebut terjadi diranah cultural (Adat/Kebiasaan) yang lalu berimplikasi pada ranah struktural (Negara), sehingga perempuan sebagai bagian dari komunitas masyarakat dan sebagai warga negara. Tertindas secara ganda.
Kerap kita dengar begitu banyaknya wanita yang diperlakukan dengan senonoh, oleh lawan jenisnya, Kekuasaan, Agama dan Budaya yang kesemuanya menghinggap dan membekas dalam alam kognitif kita dan lalu mengatakan itu sesuatu yang “wajar” adanya serta tidak perlu diperdebatkan kembali makna bias didalamnya, sehingga fenomena kawin cerai,  perempuan didapur, kerjaanya diwilayah domestik, perempuan menjadi pekerja komersial Sex, yang kesemuanya itu adalah kekerasan serta bentuk ketidak adilan gender yang dikonstruksikan oleh nilai nilai sebagaimana  ditampakan dalam simbol maupun struktur budaya baku yang ada, hal itu akan menjadi angin lalu yang tak berarti,  pada kenyataannya hal tersebut tidak berdiri dengan sendirinya,  akan tetapi pengaruh back ground dominan lah  mendesak yang kemudian berubah dalam wujud kebiasaan.
Sebagai sebuah konstruksi sosial Gender adalah sesuatu yang tidak mapan serta selalu berubah senantiasa menyesuaikan dirinya dalam konteks ruang dan waktu tertentu dan  hal itu telah berlangsung secara historical, oleh karenannya  peran identitas perempuan (sumur, kasur dan dapur) di wilayah domestik serta tidak boleh ke ranah publik dan dulunya dimaknai sebagai sebuah keadilan, adalah akibat  lahirnya interpetasi keadilan dalam ruang dan waktunya sendiri serta pengaruh wilayah sosio kultural yang mengkonstruksinya dengan memunculkan implikasi yang sangat luar biasa adalah munculnya Firgiditas dan kejumudan dalam memandang makna keadilan gender, sehingga menjadi “pembenaran” terhadap pola relasi yang dibangun.
Demikian pula realitas cultural di Indonesia yang melahirkan budaya patriarkhi dan cenderung menempatkan perempuan pada posisi yang tersubordinat dinomor duakan serta memarginalkannya dari segala proses penentuan kebijakan diwilayah cultural, hal ini dapat kita temui dengan banyaknya kasus kawin cerai, perkosaan, bahkan peran publik yang sangat terbatas bagi perempuan, perempuan ditempatkan sebagai objek perlakuan eksploitasi dan tidak sebagai subjek “kekuasaan”. Hal tersebut bukan  takdir dalam bahasa agama akan tetapi konstruksi sosial atas yang kuasa terhadap yang dikuasakan.

Libido dan reproduksi kekuasaan

Meminjam istilahnya freud, bahwa segala sesuatu yang diproduksi oleh kekuasaan (cultural)  adalah akibat dari pengaruh “libido” nya seorang lelaki sehingga sebuah keputusan yang ditentukannya berdasar ego/emosi kelaki -  lakiannya akibat dominasi alam kelaki lakian yang lalu berakibat tanpa melibatkan unsur diluarnya yaitu perempuan. Begitu juga dengan result historis yang timpang dan tidak seimbang yang sudah terstruktur dalam sistim budaya masyarakat adalah akibat adanya ranah libido yang dominan secara psikologis yang berimplikasi pada segala kebijakan yang dilahirkan.
Fakta Cultural  seperti yang menetukan kebijakan dalam Struktur budaya adalah merupakan bagian dari kebijakan laki laki an sich begitu juga dalam agama pasti laki laki yang memegang peran dominan, Tuan Guru, Kiyai atau Ustad hanya didominasi laki laki, ketika bagian dari penentu kebijakan tersebut hanya dipihak laki laki maka terus menerus kebijakan Cultural dan Agama hanya bercermin serta bersumber pada libido, lalu peluang keberpihakannya sangat dominan pada adat serta kebiasaan laki laki yang secara historis sudah dicitrakan sebagai mahluk superior, perkasa dan harus menjadi pemimpin.
Landasan teoritik yang disampaiakn freud tersebut adalah sesuatu yang patut direnungkan secara bersama, bahwa kelaki- lakian lah yang telah mendominasi ranah feminimnya perempuan, oleh karenanya laki laki harus sadar bahwa dalam upaya melahirkan perangkat kehidupan yang diciptakan harus melibatkan perempun dengan ranah feminimnya yang utuh sehingga tertata keseimbangan pola relasi yang adil dan tanpa bias gender.
Dengan demikian bahwa Bias gender disatu sisi akibat dari “faktor psiklogi” kekuasaan yang pada awalnya secara dominan dikuasai oleh laki laki dengan libido nya, yang dimana  akan melahirkan kebijakan serta tatanan sosio - cultural yang tidak imbang. Yang lebih parsial lagi adalah ketika libido tersebut hanya berpihak pada wilayah kenyataan kelaki-lakian an-sich serta tidak mampu menangkap hakikat atau takdir kemanusiaan yang real, dimana setiap manusia seharusnya mendapat posisi yang sama di mata kekuasaan baik diwilayah cultural maupun struktural sehingga bagi siapapun dan selama ia adalah manusia maka sudah seharusnya ditempatkan sebagai manusia. Perempuan yang selama ini di labelkan sebagai mahluk lemah, serta tidak berhak untuk “tahu” aktivitas laki laki sesungguhnya akan menempatkan perempuan setelah laki laki dan melahirkan budaya patriarkhi yang berwatak menindas, seharusnya perempuan juga sebagai manusia yang mempunyai hak hak kemanusiaan yang setara.
Islam dan Budaya Patriarkhi
Agama sebagai salah satu perangkat kehidupan yang telah menunjukan kontributif nilainya dalam menata pola relasi manusia dengan komunitasnya, lebih lebih Islam sebagai sebuah agama yang dianut secara mayoritas di Indonesia dan telah turut mengkonstruksi tatanan kehidupan manusia Indonesia baik secara langsung maupun tidak.
Disisi lain permasalahan dalam agama (Islam) adalah ketika makna sebuah kebenaran yang terus menerus secara historical diyakini bahkan “dibetulkan” sebagai sebuah kebenaran serta tanpa upaya reinterpetasi terhadap norma - norma dan kitab Fiqih panduan yang telah dibakukan menjadi panduan yang benar dan tetap diakui kebenarannya berkontributif pula untuk tetapnya serta harus adanya pengakuan patriarkhil tersebut, padahal dalam kenyataannya interpetasi agama sebagai sebuah kebenaran adalah sangat terbatas oleh ruang dan waktu serta fakta sosio cultural bagi perangkat norma agama (Islam) itu sendiri, demikian pula adanya budaya patriarkhi dalam Islam yang besar dipengaruhi oleh Libido, yang terinternalisasikan dalam struktur dan simbol budaya masyarakat yang selanjutnya di justifikasi kembali dengan teks suci agama (Al-Qur’an).
Kita mengetahui ketika Muhammad diturunkan di Muka bumi sebagai Nabi yang membawa cahaya kebenaran bagi umat manusia, dimasanya dia dikenal sebagai pahlawan revolusioner sejati yang telah berhasil menata pola kehidupan yang imbang dizamannya dan melakukan pembebasan kemanusiaan yang radikal, Perempuan yang ditempatkan sebagai budak oleh zaman zahiliyah, perempuan yang dipandang hina, perempuan yang dijadikan harta warisan, dalam pandangan keagamaan Muhammad adalah  tidak manusiawi, sehingga Muhammad meneriakkan kebenaran bahwa tidak ada lagi bayi perempuan yang  dibunuh, tidak ada lagi perempuan yang diwariskan akan tetapi mereka adalah manusia yang sama serta wajib mendapatkan haknya sebagai manusia.
Artinya hal tersebut mengilustrasikan kepada seluruh alam ini bahwa semangat yang dibangun oleh Islam adalah semangat yang anti patriarkhi serta berpihak kepada kemanusiaan, hal tersebut menunjukan secara hakiki bahwa Islam sendiri pada hakikatnya adalah agama yang berpihak pada kesetaraan nasib perempuan dengan kekuasaan maupun laki laki, sehingga Islam terlepas dari fakta normatif dan firgiditas historis,  sebenarnya sebagai pelopor semangat anti patriarkhi dan bukanlah agama Pelestari budaya patriarkhi.sebagaimana yang telah dicitrakan oleh Waktu dan sejarah

Dialog agama dan Budaya menuju pembebasan perempuan

Agama dan Budaya adalah faktor yang sangat penting dalam peradaban kemanusiaan dimuka bumi ini, begitu pula dengan budaya yang nota benenya sebagai perangkat manifestasi konkret agama  berposisi pada tempat yang sangat penting, maka kedua duanya sesuatu yang saling mengaitkan dalam meng-konstruksi tatanan sosio cultural karena perangkat nilai sebuah norma bersumber dari agama dan budaya.
Begitu pula  relasi perempuan dengan lelaki maupun kekuasaan pada awal nya terkonstruksi oleh agama dan budaya masa lalu yang mapan sehingga gagap menghadapi sesuatu yang baru, ketika teks agama secara historis menjawab masa kini, kenyataan perempuan dimasa lalu apakah relevan dengan realitas aktual.
Ketika agama (secara historis) tidak lagi mampu membaca realitas kontekstual maka dia akan ditindas serta terkesan status quo bahkan statis,  disinilah agama menjadi stigma atas ketidak mampuannya membela kaum tertindas, sehingga yang tanpak dalam budayapun adalah kelemahan budaya dalam menjawab realitas tersebut,oleh karenanya upaya dialog agama dengan realitas cultural kontekstual harus terus menerus dilahirkan.
Dialog yang dimaksud adalah sebagai perangkat analisis yang menetik beratkan  terjadinya sirkulasi yang terus menerus dan upaya kritis atas realitas yang berlangsung, sehingga analisis ini menyandarakan terjadinya sirkulasi perubahan pada ruang dan waktu, demikian pula dengan  Agama dan Budaya yang saling berkorelasi negatif dan positif sehingga kecendrungan Negatif dan positifnya tergantung ruang dan waktu, dengan lain kata bahwa sesuatu yang dianggap benar dalam interpetasi teks agama atau sebuah budaya pada masa tertentu, akan dipertanyakan kembali dimasa yang lainnya,  apakah hal itu relevans dengan keadaan dan situasi  bagi kita yang tentu ruang dan waktu maupun sosio culturalnya berbeda dengan masa lalu.
Jikalau tidak ada upaya dialog, baik itu dengan aspek dominan yang membentuk simbol struktural wilayah cultural seperti ketidak berpihakan agama serta adat (norma dan perangkat lainnya) kebiasaan masyarakat dengan realitas kontekstual ketertindasan perempuan maka wilayah culturallah yang berkontribusi terhadap terkonstruksi bias gender dan ketertindasan perempuan yang berlipat ganda.
Oleh karenannya refleksi substansial yang harus dilakukan oleh para penentu kebijakan cultural dan struktural adalah bagaimana mengeliminasi faktor libido serta meluruskan interpetasi keterbatasan Islam sebagai seperangkat nilai yang berkontributif dalam menata tatanan sosio cultural masyarakat, sehingga tertata kehidupan yang dinamis dan tetap dalam kerangka keadilan bagi setiap manusia Indonesia tanpa membedakan identitas Gen-nya.(W)

Selanjutnya “Berbincangah” Dengan Kebesaran Tuhanmu, Amin

0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Web Hosting | Top Web Host