Tanggal 21 April 1823, di Jepara lahir seorang pejuang hak-hak perempuan yang akrab dikalangan sekolah (pendidikan) maupun masyarakat umum beliau adalah Raden Ajeng Kartini. Beliau adalah sosok wanita mengagumkan yang mampu mengangkat keharuman nama wanita yang waktu itu terkungkung oleh penjajah dan budaya saat itu. Wanita tidak boleh bersekolah dan wanita tidak boleh ikut perkumpulan seperti laki-laki. Maka, karena merasa hak-haknya sebagai wanita dan manusia untuk mendapatkan pendidikan dan pelayanan yang sama, ia pun tidak terima dan berontak. Pada waktu itu yang berhak bersekolah hanyalah anak-anak pejabat dan orang kaya. RA. Kartini lalu sempat mnegenyam pendidikan karena ia putri seorang residen. Tetapi budaya yang berkembang waktu itu, tidak membolehkan seorang wanita yang memasuki usia remaja untuk melanjutkan studinya. Wanita yang memasuki usia remaja harus dipingit (tidak boleh keluar rumah), dengan kebiasaan seperti itu batinnya melakukan pemberontakan untuk memperjuangkan hak-hak kaumnya. Kegigihan RA. Kartini dalam memperjuangkan hak-hak perempuan merupakan tonggak awal bagi terciptanya egalitarian dan persamaan antara laki-laki dan perempuan. Dalam perjalanannya kemudian, fakta sosial menunjukkan perempuan selalu ditempatkan pada posisi subordinat (bawah) dan termarginalkan (terpinggirkan) baik hak-haknya dalam berpolitik, ekonomi, sosial dan dalam bidang kehidupan lainnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang menjadikan posisi perempuan sangat menyedihkan.
Pertama Agama, ajaran agama yang selama ini diinterpretasikan (ditafsirkan) oleh para ulama, khususnya ayat-ayat yang menyangkut hak antara laki-laki dan perempuan kurang berpihak kepada kaum perempuan. Sejarah memang belum mencatat ada ulama besar dari kaum perempuan, sehingga penafsiran yang timbulpun selalu menyudutkan dan merugikan perempuan contohnya ayat yang menyatakan "Laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan" (QS. An-nisa : 34) sering dijadikan sebagai senjata laki-laki untuk melanggengkan hubungan yang tidak egaliter yang konsekwensinya akan menempatkan laki-laki selalu diatas segalanya dan perempuan selalu menjadi obyek penindasan. Ini berakibat pada munculnya anggapan bahwa, Islam adalah agama yang membelenggu kebebasan perempuan dan tentu saja suami akan merasa terlegitimasi (dibolehkan) untuk melakukan pencekalan bagi langkah perempuan.
Kedua budaya, budaya yang hidup dan berkembang ditengah masyarakat kita secara umum adalah budaya yang masih mengakar pada tradisi-tradisi masa lalu. Sejarah telah mencatat bahwa pada zaman kerajaan atau penjajahan dahulu perempuan sering dijadikan sebagai hadiah bagi para tamu kerajaan ataupun bagi para pejabat Imperalialis (penjajah) untuk alat kesenangan belaka. Dan perempuan tidak dibenarkan untuk ikut dalam urusan politik, ekonomi, budaya dan lainnya sehingga nyaris aktivitas perempuan khususnya yang jauh dari kota dan informasi hanya berkutat pada dapur, sumur dan kasur.
Ketiga stigma, stigma (pelabelan) yang berkembang dimasyarakat yaitu, perempuan adalah obyek seks atau alat pemuas nafsu kaum laki-laki saja dan tak mengherankan apabila kita sering mendengar bahkan melihat diberbagai media massa perempuan korban pemerkosaan. Keempat hukum, hukum yang ber-laku dinegara kitapun masih cenderung men-diskriminasi-kan perempuan, contoh ringan saja, ketika aparat penertiban melakukan razia terhadap para perempuan malam. Perempuanlah yang akan ditangkap, kemudian di interogasi seperti pelaku kriminal kemudian direhabilitasi pada panti sosial sementara laki-laki hanya dengan memberikan keterangan seadanya dapat langsung bebas dari jeratan hukum.
Dalam kehidupan keluarga posisi perempuanpun cenderung selalu dirugikan, seorang isteri seringkali dijadikan sebagai pekerja dan disisi lain sebagai ibu rumah tangga. Peran ganda yang dilakoni oleh isteri tentu saja hal yang sangat menyedihkan, disatu sisi harus melakukan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga seperti memasak, menjaga anak, mencuci, membersihkan rumah dan berbagai pekerjaan lainnya, disisi lain dia adalah seorang isteri yang harus melayani segala keperluan dan kebutuhan suami. Kenyataan ini tentu saja sebuah ketidakadilan bagi perempuan.
Pemahaman kita tentang posisi perempuan sebagai isteri dan ibu rumah tangga saat ini harus kita rubah, kalau kita memahami perempuan sebagai pendamping suami, maka disana akan terlihat perempuan tidak akan punya andil sama sekali dan perempuan tidak akan punya hak dalam memutuskan kebijakan apapun dalam keluarga, sehinga tidak akan pernah terlihat peran dan hak seorang isteri dalam memutuskan kebijakan dalam rumah tangga. Kemudian kalau kita menafsirkan perempuan sebagai mitra dari suami, maka dalam setiap pengambilan keputusan apapun isteri akan selalu dilibatkan atau akan selalu melalui jalan kompromi sehingga melahirkan kata sepakat, disana akan terlihat sejauhmana peran seorang isteri dan keterlibatannnya dalam ikut menentukan kebijakan dalam keluarga.
Sebuah keluarga yang didasarkan atas pola hubungan yang setara (equal) dan memahami keragaman individu dan memberikan ruang bagi timbulnya perbedaan pendapat maupun pluralisme, hal ini tentu saja akan menjadi cikal bakal tumbuhnya pemahaman dan perlakuan yang manusiawi bagi perempuan. Dengan demikian masing-masing tidak akan ada yang merasa tersubordinasi dan termarginalkan (terpinggirkan) baik mengenai akses dalam mengambil keputusan ataupun dalam meningkatkan ekonomi keluarga.
Mencermati berbagai bentuk penindasan yang menimpa kaum perempuan dewasa ini terutama pada masyarakat kita, Nusa Tenggara Barat terutama sekali kekerasan pisik yang sering menimpa kaum hawa, ini sangat menyedihkan dan memaksa kita untuk meneteskan air mata, dimana perempaun dijadikan sebagai pelampiasan nafsu dari pada mahkluk yang namanya laki-laki dan dengan berbagai stigma-stigma (pelabelan negatif) yang mencekal langkah kaum perempuan. Betapa menyedihkan bila membaca surat kabar yang memberitakan pemerkosaan terhadap wanita, yang dibarengi dengan tindakan kekerasan seperti pemukulan, penganiayaan dan berbagai macam bentuk kekersan lainnya.
Dengan melihat ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan, kita seharusnya mau membuka mata hati kita dan memberikan ruang yang sama untuk perempuan dan memposi-sikan mereka sebagai manusia yang mem-punyai hak yang sama dengan laki-laki. Memang ada perbedaan yang alami (natural) antara laki-laki dan perempuan, namun perbedaan tersebut jangan dijadikan sebagai pembatas dan pemasung hak-hak perempuan. Ketidakadilan bukan hanya persoalan kaum perempuan tetapi masalah ini adalah masalah kemanusiaan dan permasalahan semua orang, dan agama tidak pernah memandang kemu-liaan seseorang dari jenis kelaminnya, tetapi kemuliaannya tergantung dari amal kebaikan dan kebajikan yang diperbuat untuk kemas-lahatan manusia.
Lalu bagaimana kita memaknai hari Kartini , kalau kita maknai Hari Kartini sebagai hari pembebasan kaum perempuan dari ketertin-dasan mengapa sampai hari ini masih banyak terdengar perlakuan kasar dan tidak manu-siawi terhadap perempuan. Atau kalau kita ingin maknai hari Kartini sebagai hari bang-kitnya perempuan dari keterkungkungan men-gapa perempuan banyak yang tidak berdaya dan rela menerima apa adanya. Makna apapun yang kita berikan kepada hari Kartini, yang jelas antara laki-laki dan perempuan mem-punyai hak dan kewajiban yang sama dalam menikmati kehidupan dan hasil pembangunan negeri ini.(WE)